Learning the past Managing the present Shaping the future

Selasa, 09 Januari 2018

Surat

Hujan deras, tak terhentikan hingga petang. Secarik surat berterbaran mencari para tuannya. Derap langkah kuda-kuda perang masih terderung ramai di telingaku. Hingga lama aku berlari, tiada walau rintik cahaya bulan menembus relung-relung kota. 
Mungkin era sudah bersabda, mendepak mereka-mereka yang lemah dan lunglai. Tahukan kamu? Oh jelas saya tahu. Bahkan nenek sayapun tahu kalau surat itu sebenarnya tidak bagi para “musuh”. Entahlah, air limpasan tidak akan kembali ke batuan akuifernya. 
Kala itu sudah untuk kesekian kalinya batuan-batuan itu digulingkan, tidak untuk mereka. Tapi saya yakin ini bukanlah suatu strategi terbuka. Barangkali ada yang menganggap biasa, ya mungkin bisa jadi tidak. Karena para sahabat telah mengingatkanku untuk yaudah gapapa. 
Saya tidak tau yang kalian inginkan dari saya, dan yang saya tau hanyalah kontribusi terbaik dan berharap peradaban ini akan lebih maju. Barangkali baca legenda telah luntur. Tak pantas bersanding dengan kalian, tendanglah hingga ke perut bumi sana.
Agaknya benar, tiada kata puas dalam nafsu manusia. Surat-surat tersebut terus bertebaran, tanpa aku ketahui. Kenapa, ya karena elu udah jadi musuh. Akupun semakin kebingungan dengan detak peradaban yang hari ini aku tinggali. Selepas rasa manis itu, tertembak matilah mereka di lapangan banteng. Mirip kisah tenryuubito, kaulemah maka ditindas. 
Aku kembali dengan mengibaskan kasur ayah di tepi kebun. Ayah sangat menyayangi keluarganya, termasuk aku. Sayang mata kanannya terhempas laskar-laskar kemunafikan. Mungkin hanya beberapa bait ini untuk surat-surat yang tak tersampaikan itu. Tak tersampaikan pada mereka yang bukan. Tak tersampaikan pada mereka yang berbakat. Sumpah di tugu Soekarno telah membuktikannya bahwa setiap pertanyaan harus ada jawabannya. Dan sekarang banyak dari pengirim surat tersebut telah segan dan bahkan mungkin lupa. Bahwa bibit-bibit yang ditanam telah menjadi macan-macan peradaban. 
Rasa yang sama mungkin telah dirasakan oleh Bang Yudin, Bang Ghasi, Bang Wildo, Teh Galuh dan mereka-mereka yang telah menembus batas awan diatas sana. Maaf telah menjadi sepah, namun itulah aneka kontribusi yang telah di persembahkan. Kesenjangan ini akan terus berlanjut, hingga sangkakala terdengar, hingga lautan terbakar dan gunung-gunung berterbangan. 
Saya tidak bisa berbicara banyak, saya tidak bisa menjamin keberlanjutan tak kasat mata ini. Barangkali ketegangan teman-teman lain yang tidak terwakilkan, akan dibalaskan oleh Tuhan. Dengan rangkaian kisah-kisah lain yang akan terukir, mudah-mudahan akan terdengar indah di pangkuan bumi pertiwi. Kualitas tidak akan berbohong, tetaplah lanjutkan perjuangan dan misi peradaban. 
Like a legend, every person have their own choices. Semua tak berhak memaksa, dan Tuhan Yang Maha Agung akan memberikan apa yang setiap insan usahakan, dan tidak ada pengecualian terhadapnya. Keep enjoy this life, mudah-mudahan kalian tidak akan iri dan kecewa nanti.

Popular Posts

Blogger templates

Hak cipta hanya milik ALLAH. Diberdayakan oleh Blogger.

Komentar

Gunakanlah Bahasa yang santun dan bersifat membangun, terimakasih :)

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Paling Dilihat